Sabtu, 31 Mei 2014

profil saya



SECARIK KISAH DERITA MASA LALU

Andi Novi Octaviani, teman-temannya biasa memanggilnya Novi dan di kalangan keluarga dia biasa dipanggil Evhy, dia lahir di sebuah kota yang bernama Soppeng pada hari Selasa 5 Oktober  1993. Dia adalah anak ketiga dari lima bersaudara, dia memiliki dua kakak laki-laki yang bernama Andi Hendrawan dan Andi Hendriadi, dia juga memiliki dua adik laki-laki yang bernama Andi Agung dan Andi Irfan. Jadi, dia adalah anak perempuan satu-satunya.
Dia lahir dari keluarga berdarah Bugis. Ayahnya berasal dari desa kecil di kota Soppeng yaitu Attangliang, beliau bernama Abdul Muis, beliau adalah ayah yang sangat perhatian kepada anak-anaknya dan juga sangat sayang kepada anak-anaknya. Ayahnya bekerja sebagai wiraswasta. Ibunya berasal dari desa yang ada di kota Soppeng juga yaitu Takalala, beliau bernama Andi Halmiati, beliau adalah seorang ibu rumah tangga yang baik dan juga seorang ibu yang sangat perhatian kepada anak-anaknya. Dan kini kedua orang tuanya tinggal di Takalala Kecamatan Marioriwawo Kabupaten Soppeng.
Novi yang kesehariannya hidup sebagai gadis yang sederhana dan penampilannya pun sangat sederhana. Namun dibalik kesederhanaannya, tersimpan satu niat yang mulia untuk orang tuannya. “Jika saya sudah sukses, hal yang pertama yang saya lakukan adalah ingin memberangkatkan kedua orang tua saya ke tanah suci. Amin”, ungkapnya.
Ketika dia masih berumur 5 tahun, dia di sekolahkan oleh kedua orang tuanya di sebuah TK yang ada di desanya yaitu TK Pertiwi Takalala. Di sekolah tersebut dia banyak mengenal teman-teman yang baik. Dia tamat di TK tersebut sekitar tahun 1999.
Ketika dia lulus TK, dia kemudian melanjutkan pendidikannya di SD yang letaknya tak jauh dari kediaman orang tuanya yaitu di SDN 164 Pacora. Setiap pagi dia berjalan kaki ke sekolah dan kadang dia berjalan kaki dengan teman-teman sekolahnya. Di sekolah tersebut dia juga menyatakan bahwa dia memiliki banyak teman yang sangat baik dan bersahabat. Saat dia duduk di kelas 6, gurunya mengadakan sekolah malam menjelang ujian nasional. Kadang dia dan teman-temannya menyalakan obat nyamuk di dalam kelas sambil belajar. Tapi tak sia-sia, ternyata nilai ujiannya sangat memuaskan, nilai ujian sekolah dia berhasil jadi peringkat pertama dan di ujian nasional dia berhasil menjadi peringkat 3.
Setelah lulus SD, dia kemudian melanjutkan sekolahnya ke SMPN 1 Marioriwawo yang masih berada di Takalala. Dia senang sekali ketika di semester 2 kelas satu smp dia dinyatakan peringkat 2 dan berhak masuk ke kelas unggulan di sekolah tersebut. Di kelas unggulan dia memiliki banyak sahabat-sahabat yang setiap hari mereka bersama-sama baik di sekolah bahkan di luar sekolah. Di masa-masa inilah dia mengungkapkan bahwa “inilah masa-masa ternakal saya”. Dia sering keluar malam bahkan kadang tidak pulang karena biasanya dia ngumpul sama teman-temannya.
Setelah lulus SMP, dia kemudian melanjutkan sekolahnya ke kota yaitu di SMAN 1 Watansoppeng. Di kelas 2 dia memilih jurusan IPA dari tiga jurusan yang tersedia di sekolah tersebut yaitu IPA, IPS, dan Bahasa. Setiap hari dia harus berjalan kaki ke terminal kemudian lanjut naik angkot untuk sampai ke sekolah sekitar 30 menit dengan tarif 2000 rupiah. Jika pulang sekolah dia kemudian jalan kaki dengan teman-temannya ke terminal lagi cari angkot. Sebenarnya, di depan sekolah kadang sudah ada angkot untuk ke terminal tapi demi berhemat dia dan teman-temannya lebih memilih jalan kaki. Jika matahari begitu terik, dia biasanya melewati jalan kompas yang banyak pohon agar tidak terlalu panas. 3 tahun dia melewati masa-masa tersebut tapi dia selalu jalani dengan ikhlas dan tak pernah mengeluh.
            Ketika lulus SMA, dia kemudian melanjutkan pendidikannya di kota Makassar dan dia tinggal di rumah kerabatnya di jalan Toa Daeng 3 hingga sekarang. Pertamanya dia mendaftar di salah satu perguruan tinggi di bidang kesehatan tapi sayang dia tidak lolos masuk perguruan tinggi tersebut. Dia kemudian memutuskan untuk masuk ke perguruan negeri swasta yaitu di Universitas Muhammadiyah Makassar. Dan alhamdulillah dia bisa berhasil masuk di kampus tersebut dengan jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Dia pun segera mendaftar ulang dengan penuh perjuangan pendaftaran ulangnya pun selesai karena dia harus berpanas-panasan dan menunggu berjam-jam antri untuk menunggu giliran.
Awalnya dia berpikir dia tidak bisa menyukai dan mampu menjadi seorang pengajar, tapi ternyata di kampus ini dia mulai menikmati semua. Dari semester 1 sampai semester 3 dia bisa mengikuti perkuliahan dengan baik dan bisa mendapat nilai yang cukup memuaskan. Tapi dia tak pernah puas dengan hasil dia dapatkan dan dia bertekad akan bisa mendapatkan lebih dari itu.
Walaupun sebenarnya dia sudah mulai jenuh dengan kehidupannya untuk tinggal di rumah kerabatnya karena dia merasa tertekan dan kurang bebas tapi dia tetap berdiam diri dan tak bisa mengungkapkan kepada kedua orang tuanya karena dia sadar bahwa kehidupan keluarganya jauh dari kata berkecukupan. Dia hanya terus bersabar menjalani hari-harinya, dia percaya bahwa pasti Allah mempunyai rahasia indah dibalik semua ini.
Di tahun 2013, dia nyaris tak hidup di dunia ini lagi. Dia mengalami kecelakaan yang nyaris merenggut nyawanya. Namun, Allah masih mengisinkan dia untuk bernafas di dunia ini. Pada sore itu, dia mengalami kecelakaan di Gowa, dia tersambar mobil truk ketika dia mengendarai motor. Dia sangat bersyukur masih ada orang yang berbaik hati yang ingin menolongnya dan membawa ke rumah sakit padahal di sekitar daerah itu dia tidak memiliki keluarga. “Mungkin ini sudah rencana Allah, semua serba kebetulan”, ungkapnya.
Sebenarnya, dia begitu terpukul dengan kejadian ini karena kedua lengannya mengalami patah tulang. Tapi, dia terus ingin kelihatan tegar karena dia tidak ingin kedua orang tuanya juga ikut sedih jika dia juga sedih. “Mereka sudah cukup terpukul dengan keadaan ini, jadi saya gak mau terlihat sedih juga dihadapan mereka”, ujarnya. Dia tahu bahwa kedua orang tuanya pasti sangat sedih melihatnya yang hanya bisa terbaring lemah dan sedikit pun tak bisa melakukan sesuatu.
Saat itu untuk sementara dia tidak masuk kuliah selain karena keadaan tidak memungkinkan, dia juga dibawa pulang ke Soppeng oleh orang tuanya karena tidak mau kalau dia harus menjalani operasi, jadi orang tuanya memilih untuk membawanya berobat tradisional saja.
Hampir 2 bulan dia terbaring di kasur dan sama sekali tak pernah bangun. Makan, buang air, dan apapun yang ia lakukan pasti semua di atas kasur dengan bantuan ibunya. “Saat itulah saya sadar bahwa kedua orang tua saya begitu sayang sama saya”, ungkapnya. Dia baru sadar bahwa kedua orang tuanya ternyata sangat sayang dengannya, dia melihat perjuangan kedua orang tuanya demi kesembuhannya bahkan orang tuanya harus pergi keliling-keliling cari obat untuknya tak pernah mengenal waktu kapan dan dimana mereka harus pergi.
Dari pengalaman itulah dia tambah bersemangat dan terus berusaha untuk menunjukkan yang terbaik untuk kedua orang tuanya. Walaupun nilai kuliahnya pada semester itu banyak yang anjlok tapi dia terus berusaha untuk memperbaiki. Dia mendatangi dosen-dosennya dan meminta perbaikan nilainya.
Sampai sekarang dia masih berstatus sebagai mahasiswa Universitas Muhammadiyah Makassar semester 6 jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Dia memiliki target untuk cepat menyelesaikan pendidikan sarjananya dan mendapatkan nilai yang memuaskan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar